Dalam banyak ruang kelas, suasana belajar seringkali kaku dan penuh kecanggungan. Murid enggan mengangkat tangan karena takut salah, sementara guru merasa terintimidasi jika tidak bisa menjawab pertanyaan kritis. server kamboja Fenomena ini diringkas dalam kalimat populer: “Murid takut salah, guru takut ditanya.” Kalimat tersebut menggambarkan kondisi psikologis dalam dunia pendidikan yang seharusnya terbuka untuk diskusi, eksplorasi, dan kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Namun kenyataannya, budaya belajar yang berkembang justru membuat kesalahan menjadi aib, dan pertanyaan dianggap sebagai tantangan, bukan bagian dari keingintahuan.
Akar Masalah: Sistem Pendidikan Berbasis Kepatuhan
Banyak sistem pendidikan, terutama di Asia, berkembang dalam kerangka struktural yang sangat hierarkis. Guru adalah otoritas utama di ruang kelas, dan murid dituntut untuk mendengarkan serta mengikuti tanpa banyak bertanya. Sistem ini secara tidak langsung menanamkan rasa takut pada murid: takut salah, takut dianggap bodoh, bahkan takut membuat guru merasa tidak nyaman.
Di sisi lain, guru pun dibentuk oleh sistem yang menuntut mereka tahu segalanya. Ketika murid bertanya di luar buku teks atau topik yang diajarkan, beberapa guru merasa dipermalukan. Hal ini memunculkan budaya menghindar dari diskusi terbuka dan membuat suasana belajar jadi satu arah.
Dampak Psikologis dan Intelektual
Budaya takut salah dan takut ditanya memberi dampak jangka panjang yang tidak kecil. Murid tumbuh menjadi individu yang ragu menyampaikan pendapat, takut mengambil risiko, dan tidak terbiasa berpikir kritis. Mereka menjadi pasif dalam proses belajar dan hanya menghafal untuk lulus ujian.
Guru, di sisi lain, juga mengalami tekanan untuk menjadi “sempurna”. Ketidakmampuan menjawab sebuah pertanyaan sering dianggap sebagai kelemahan, padahal sejatinya seorang pendidik pun masih dalam proses belajar. Tekanan ini dapat menurunkan kualitas pengajaran karena guru cenderung membatasi ruang eksplorasi siswa demi menjaga citra otoritasnya.
Contoh Sistem yang Mendorong Dialog Terbuka
Beberapa negara telah membangun budaya belajar yang berbeda. Di Finlandia, misalnya, guru dianggap sebagai fasilitator pembelajaran, bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Murid bebas mengajukan pertanyaan dan berdiskusi, bahkan sejak usia dini. Kesalahan tidak dianggap sebagai kegagalan, melainkan sebagai bagian dari proses memahami.
Di Belanda dan Australia, sekolah-sekolah mempromosikan dialog terbuka antara guru dan murid. Kelas sering dikemas dalam bentuk diskusi kelompok, proyek kolaboratif, dan studi kasus. Guru bahkan dilatih untuk merespons ketidaktahuan mereka dengan cara yang membangun, seperti berkata, “Saya belum tahu, mari kita cari bersama.”
Mengubah Budaya: Tugas Kolektif
Mengubah budaya belajar bukan hanya tugas guru atau sekolah, melainkan tanggung jawab bersama antara institusi pendidikan, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas. Butuh perubahan mendasar pada nilai-nilai pendidikan: dari yang berbasis ketakutan dan kepatuhan menjadi pembelajaran yang penuh keberanian, rasa ingin tahu, dan saling percaya.
Guru perlu diberikan pelatihan yang tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga pedagogik dan emosional. Mereka perlu merasa aman untuk berkata “saya tidak tahu” dan tetap dihormati. Murid juga perlu dilatih sejak dini bahwa bertanya bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan indikator berpikir aktif.
Lingkungan sekolah perlu dirancang untuk mendorong dialog, bukan hanya presentasi. Ruang kelas yang mendukung komunikasi dua arah akan menciptakan suasana yang lebih sehat secara psikologis dan lebih efektif secara intelektual.
Kesimpulan
Kalimat “Murid takut salah, guru takut ditanya” mencerminkan kegagalan sistemik dalam membangun budaya belajar yang sehat. Ketika kesalahan dianggap memalukan dan pertanyaan dipandang sebagai ancaman, proses belajar berubah menjadi aktivitas yang pasif dan penuh tekanan. Mengubah budaya ini memerlukan pendekatan yang menyeluruh, dari kurikulum hingga hubungan antar individu di dalam kelas. Pendidikan yang kuat dibangun bukan dari ketakutan, melainkan dari keberanian untuk salah dan semangat untuk terus bertanya.